Cerita Habib Rizieq Ketika Istri Tebang Pohon Yang Dipasang Alat Penyadap

HABIB Rizieq Syihab ditinggalkan istrinya, Syarifah Fadhlun binti Fadhel binti Yahya untuk selama-lamanya. Istri tercinta dipanggil Sang Khalik pada Sabtu, 16 Desember 2023 atau 3 Jumadil Akhir 1445 Hijriah. Umi Syarifah, wanita tangguh yang setia mendampingi HRS berdakwah dalam keadaan suka dan duka.

Ada cerita menarik yang disampaikan HRS saat ia terus diintai oleh aparat keamanan. HRS selain tinggal di Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, juga tinggal di Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Tentu tidak ketinggalan Pondok Pesantren Markaz Syariah Megamendung, yang juga di Kabupaten Bogor.

Tiga tempat ini menjadi pusat perhatian aparat kepolisian dan intelijen, baik sebelum pergi mengasingkan diri ke Tanah Suci maupun setelah pulang. Tiga tempat ini semakin intens diawasi, terutama setelah ia kembali dari pengasingan.

Tiga tempat ini dimata-matai habis-habisan, baik dengan mengirimkan petugas berpakaian preman, mengerahkan drone, memasang alat penyadap komunikasi dan CCTV atau Closed Circuit Television (Kamera Kecil Tersembunyi yang Mengawasi Lokasi).

Bahkan, saat saya dan rombongan wartawan senior mengadakan pertemuan dengan HRS dan petinggi FPI (Front Pembela Islam), Jum'at, 4 Desember 2020 sore di Megamendung, sebuah drone terbang di atas rumah tempat kami berdialog.

Para petinggi FPI yang turut hadir saat itu antara lain, Ketua Umum, Ahmad Sabri Lubis; Sekretaris Umum, Munarman; Yusuf Martak. Ketika melihat drone lewat, sebagian dari kami melambaikan tangan, da..da..daaa. Saat drone terbang di atas kepala kami, saya sudah curiga, itu adalah pesawat yang dikirim untuk merekam pertemuan HRS dengan siapa pun di tempat tersebut. Apalagi, baru rombongan kami lah yang pertama kali diterimanya di Megamendung dalam jumlah banyak setelah kembali dari Mekkah.

Benar juga perkiraan saya. Drone itu jelas kiriman dari instansi intelijen. Sebab, dalam waktu yang hampir bersamaan Laskar FPI menangkap tiga orang yang mengaku dan beridentitas Badan Intelijen Negara (BIN), meski pihak Pejaten membantahnya. Perut drone pun dibedah, dan isinya antara lain, "Beberapa mobil terlihat parkir..." Ini mengacu pada sejumlah mobil pribadi yang dibawa ke tempat tersebut.

Dimata-matai dan dikuntit, itulah yang dialami HRS. Setiap pergerakannya dari Megamendung ke Sentul maupun ke Petamburan dan sebaliknya semakin diintai ketat, terutama menjelang Senin, 7 Desember 2020.

Seakan tidak ada ruang bebas. HRS selalu "dikelilingi" oleh mobil yang tidak dikenal dengan pengemudi dan penumpang berpakaian preman atau pakaian sipil. Tidak tanggung-tanggung mobil yang dikerahkan, bisa 3 sampai 5 unit dan bahkan lebih.

Ketika HRS dan keluarga berangkat dari Megamendung ke Sentul sudah dikuntit. Demikian juga menjelang tengah malam 6 Desember 2020, saat HRS dan keluarga (istri, anak, menantu dan cucu) berangkat menuju Karawang, Jawa Barat, penguntitan pun semakin ketat. Mobil rombongan sering disalib dan dipepet oleh kendaraan yang tidak dikenal.

Sempat terjadi saling salib-menyalib antara Laskar FPI yang mengawal HRS dan rombongan dengan mobil yang digunakan aparat keamanan (belakangan diketahui dari kepolisian tanpa pakaian dinas). Lincahnya mereka mengamankan rombongan HRS berujung dengan tewasnya 6 orang laskar FPI yang dikenal dengan tragedi KM 50, yaitu saat mereka ditangkap di Jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50. Saat itu enam orang laskar yang masih hidup dibawa dengan mobil dan kemudian ditembak dan disiksa di suatu tempat. Sedangkan empat orang pengawal lainnya selamat. Demikian juga HRS dan keluarga selamat, serta tidak mengalami cedera apa pun.

Nah, dari peristiwa pemasangan CCTV dan alat penyadap itu HRS bercerita, di dekat rumahnya di Sentul ada pohon di pekarangan rumah tetangga yang dipasang diperkirakan sebagai alat penyadap. Nah, sang istri pun sempat heran dengan peralatan itu.

Istrinya pun mencoba mendekati tetangga, supaya alat itu dicopot. Permintaan itu disanggupi, karena pemasangannya memang tidak meminta izin ke si empunya tanah.

Akan tetapi, apa yang terjadi kemudian? Alat dipasang lagi. Akhirnya, sang istri menawarkan kepada pemilik lahan supaya pohon ditebang. Permintaan itu disetujui. Tentu dengan imbalan ganti rugi.

Pohon ditebang, alat pun tidak bisa dipasang lagi. Mereka kalah dengan kelihaian seorang wanita pejuang. Seorang perempuan yang menjadi figur yang selalu setia mendampingi Habib Rizieq kala suka dan duka, seorang umi yang menemani perjalanan dakwahnya berpuluh tahun.(Mangarahon Dongoran/FreedomNews).