Obituari David Jacobs: Narasumber yang Sempurna
Jakarta, FreedomNews – Sampai awal tahun 2000 PTM Surya Kediri, Jawa Timur, milik Gudang Garam masih menjadi gudangnya pemain-pemain tenis meja nasional. Klub yang dulu dirintis dan dibesarkan oleh mantan pemain nasional Empi dan Diana Wuisan adalah kawah candradimukanya atlet-atlet tenis nasional, setara dengan Pusat Bulutangkis PBSI Cipayung yang menggelar Pelatnas sepanjang tahun.
Di PTM Surya yang menjadi tuan rumah Kejuaraan Nasional inilah penulis, saat itu reporter di Tabloid Olahraga GO, pertama kali melihat David Jacobs beraksi mengalahkan pemain-pemain yang sudah berlabel nasional kala itu.
Singkatnya semua takjub dengan permainan David.
Penulis pun langsung bergegas menulis berita tentang kemenangan spektakuler David. Dalam tulisan tersebut juga ditambahkan dengan pernyataan dari salah satu panitia, bahwa David juga sebelumnya pernah juara di turnamen khusus, maaf, orang cacat (sekarang disebut para/para atlet)
Liputan selesai, penulis kembali ke Jakarta dan bekerja seperti biasa.
Sampai suatu hari ada telepon dari resepsionis di kantor yang mengatakan ada orang yang mencari dan ingin bertemu saya.
Agak terkejut saya ternyata yang datang adalah David. Dalam ruang tamu tertutup, hanya ada saya dan David, ia mengaku kecewa dengan berita yang saya buat.
"Saya tidak pernah ikut atau bertanding di turnamen orang cacat, mbak," ungkapnya menahan tangis.
Saya terkejut, malu, hingga rasanya tidak ada yang bisa saya lakukan lagi kecuali minta maaf dan mengaku itu benar-benar kesalahan fatal saya karena menerima info sepihak tanpa konfirmasi ke pihak yang bersangkutan. Dalam berita selanjutnya, kami pun memuat ralat dan pernyataan dari David secara utuh.
Ternyata kesalahan berita itu justru menjadi awal pertemanan saya dengan David. Karena rumahnya tidak jauh dari kantor (sama-sama di Jalan RS Fatmawati) ia kerap mampir ke kantor. Kadang sekedar ngobrol soal latihan dia, karena berikutnya dia dipanggil ke Pelatnas dan memperkuat klub elit Jakarta.
Setiap mau bertanding atau latihan ke luar negeri David juga selalu 'pamit' dan pulang pasti membawakan oleh-oleh. Ia pernah bawakan saya kemeja dari Prancis, yang saat itu harus saya ambil sendiri ke Hotel Atlet Century, karena ia harus berangkat ke kejuaraan berikutnya.
Tapi yang paling mengharukan adalah saat ia membawa kue tart ke kantor yang tadinya saya tidak tahu itu dalam rangka apa. "Saya lulus ujian mbak. Mau berbagai kebahagiaan sama Mbak Rahmi juga," katanya tulus.
Ya, di sela kesibukannya sebagai atlet akhirnya David bisa juga menyelesaikan kuliahnya di Perbanas. Pastinya saya ikut bahagia.
Dalam beberapa pemanggilan pemain timnas saya juga kerap membela David meski ada beberapa pengurus yang sebetulnya ingin mencoretnya karena kekurangannya.
"Nggak bisa dong Pak, David kan lolos seleksi. Kan semua harus dari hasil seleksi bukan like and dislike," kata saya ngotot pada pengurus yang berpangkat Jenderal Bintang Satu Angkatan Darat.
"Kamu tuh ya, belain David terus," kata Pak Jenderal saat saya menghadap ke kantornya di depan Stasiun Gambir.
Yah begitulah kisah kedekatan kami kala itu.
Hanya saja setelah itu penulis kehilangan kontak dengannya. Sampai tiba-tiba melihat berita David sudah menjadi atlet paralimpik andalan Indonesia, meraih beberapa medali dan mendapat bonus ratusan juta.
Sempat terbersit ingin mengontak David atau bahkan bertemu langsung, tapi mengapa yang teringat adalah rautnya saat ia protes di ruang tamu kantor kala itu.
Penulis khawatir kalau bertemu David malah akan malu karena dulu dia selalu ngotot dan tidak mau disebut 'atlet cacat'.
Keputusan yang sangat penulis sesali hari ini, karena ternyata akhirnya kita memang tidak pernah bertemu lagi.
Berita kematiannya lewat media sangat menyesakan dada. Semoga segera terungkap misteri kematianmu David.
Sungguh engkau adalah narasumber yang paling sempurna yang pernah saya temui. (*)
Rahmi Aries Nova